Enigma Tuan Mourinho
Mourinho dan Chelsea mungkin seperti dua kekasih yang terpisah jauh.
Dasarnya mungkin sudah jodoh, terpisah jauh pun mereka akhirnya
dipertemukan kembali oleh takdir.
Mungkin takdir juga yang menggariskan bahwa Chelsea harus
berganti-ganti kekasih sepeninggal Mourinho pada 2007. Ada delapan.
Kendati beberapa dari para kekasih itu memberikan kehangatan berupa
trofi-trofi, toh Chelsea seperti tidak bisa melupakan Mourinho. Tak
sampai enam tahun dari kepergian pertamanya dari Stamford Bridge,
Mourinho kembali lagi.
Lalu, bagaimana dengan Mourinho selepas
kepergiannya dari Stamford Bridge? Dia beristirahat sejenak dari dunia
manajerial. Tapi tetap saja namanya menghiasi halaman-halaman koran atau
media-media lainnya. Utamanya pada berita-berita gosip; mau ke mana dia
melatih setelah dari Chelsea.
Pada suatu kesempatan, dia sempat
digadang-gadang bakal jadi manajer baru tim nasional Inggris. Dia diburu
dan komentarnya jadi bahan yang dicari-cari. Salah satu stasiun
televisi bahkan sampai harus mendatangi rumahnya hanya untuk menemui The
Special One. Yang terjadi selanjutnya, para kru televisi itu dihentikan
Mourinho di depan pagar rumahnya. Lalu, dengan gestur seperti tak sabar
dan ingin segera membuat para tamu tak diundang itu pergi, Mourinho
hanya memberikan jawaban singkat terkait gosip itu: "I know nothing
about it."
Begitulah Mourinho. Tindak-tanduknya, apa yang
dilakukannya, dan apa yang tidak dilakukannya, selalu dan acap kali jadi
cerita. Mourinho seperti sebuah enigma: apa yang ada di benaknya jadi
pertanyaan, sementara kata-kata yang dilontarkannya berubah jadi
teka-teki lainnya.
Semusim setelah pergi meninggalkan Stamford
Bridge, Mourinho muncul di hadapan jurnalis-jurnalis asal Italia. Di
hadapan para awak media itu dia berbicara dalam bahasa Italia yang
begitu fasih. Hari itu adalah hari pertamanya melakoni konferensi pers
setelah resmi ditunjuk jadi pelatih Inter Milan. Dengan sesumbar dia
kemudian mengatakan bahwa dia belajar bahasa Italia hanya dalam waktu
tiga pekan. Lagi-lagi Mourinho memposisikan dirinya seperti sebuah
enigma; entah benar, entah tidak dia mempelajarinya hanya dalam waktu
tiga pekan.
Tahun 2010, setelah Inter menang 3-1 atas Barcelona,
beberapa media Catalan memuat cerita yang kemudian akan ditanggapi
dengan sinis oleh Mourinho. Mereka menulis bahwa Mourinho dan wasit asal
Portugal yang memimpin pertandingan itu, Olegario Benquerenca, adalah
teman lama. Mereka bahkan memiliki sebuah restoran bersama. Mau tahu
jawaban Mourinho atas cerita usil ini? "Saya tidak punya restoran dengan
siapa pun. Mungkin malah Pep (Guardiola) yang punya restoran di Oslo."
Jawaban
singkat tapi mengandung "kode" itu merujuk pada kemenangan Barcelona
atas Chelsea pada 2009. Pada laga itu, kepemimpinan Tom Henning Ovrebo,
yang berasal dari Norwegia, banyak dikritik. Mourinho dengan jeli
menggunakannya sebagai balasan. Padahal, ketika itu pun dia sudah tidak
jadi manajer Chelsea.
Segala sesuatu yang dilakukan ataupun
dikatakan olehnya memang tidak semuanya positif atau layak masuk dalam
buku kebaikan para malaikat. Tapi Mourinho adalah Mourinho. Dia seperti
tidak peduli segala tindakan dan perkataan yang diucapkannya mengundang
reaksi dan konsekuensi yang beragam di sekitarnya. Apa yang tercetus di
benaknya, dia lontarkan saja. Tanpa tedeng aling-aling.
Maka,
jangan heran jika kemudian banyak orang bertanya-tanya menyoal apa yang
dia pikirkan. Tak ada yang tahu alasan pasti mengapa dia mencadangkan
Iker Casillas. Tak ada yang tahu pasti mengapa dalam waktu-waktu
terakhirnya di Real Madrid dia terlihat tidak bahagia. Kabar yang
beredar menyebutkan sudah terjadi perpecahan di dalam ruang ganti
Madrid. Tapi Mourinho (atau pihak Madrid sendiri) tidak pernah
memberikan pernyataan secara pasti.
Yang jelas, Mourinho mengaku
bahwa dirinya sudah tidak disukai di Spanyol. Dia butuh pergi ke tempat
di mana dia dirindukan, di mana dia dicintai, yaitu ke Chelsea.
Kepergiannya dari Chelsea dulu bukannya tanpa pertanyaan. Tahu-tahu
saja, menjelang akhir tahun 2008 itu, dia meletakkan jabatannya sebagai
manajer. Seperti halnya perpisahannya dengan Madrid, tidak ada kata
pemecatan. Kabar yang beredar menyebutkan bahwa dia tidak suka kehadiran
Avram Grant sebagai direktur sepakbola. Kabar lain menyebut bahwa dia
bertengkar dengan Roman Abramovich. Claude Makalele pun ikut memberi
kabar: Mourinho ribut dengan John Terry dan pihak klub memilih membela
sang kapten. Yang ada hanya kabar, kabar, dan kabar.
Kedatangan
kedua Mourinho ke Chelsea diikuti berbagai ekspektasi. Tidak hanya
ekspektasi untuk membuat Chelsea kembali menjuarai liga, tetapi juga
eksepektasi untuk membuat liga itu kembali ramai dengan
tindak-tanduknya. Siapa tahu dia akan kembali membuat percikan kecil
dengan orang yang dulu disebutnya "Tukang Ngintip", Arsene Wenger. Atau
mungkin membuat rivalitas baru dengan penerus Sir Alex Ferguson di
Manchester United, David Moyes. Tapi, sejauh ini, ucapannya soal Moyes
masih positif. Dia menyebut orang Skotlandia itu sebagai sosok yang pas
untuk menggantikan Sir Alex.
Ekspektasi lainnya tentu saja
bagaimana Mourinho akan meneruskan Chelsea, tim yang musim lalu sempat
anjlok, tapi pada akhirnya mengakhiri musim dengan raihan satu trofi.
Jika dulu Mourinho meninggalkan Inter untuk dilanjutkan oleh Rafael
Benitez, maka kini justru sebaliknya. Benitez membuktikan bahwa dia
bukan pelatih sembarangan. Taktik agresif yang sebelumnya tidak berjalan
di tangan Andre Villas-Boas, musim lalu berbuah sebaliknya di tangan
dia.
Salah satu keunggulan Benitez adalah dia tidak senaif
Villas-Boas. Dia tahu kapan harus meminta timnya bermain agresif dan
kapan meminta mereka bermain pragmatis. Ambil contoh pertandingan
melawan FC Basel di Liga Europa. Basel sukses menyingkirkan Tottenham
Hotspur yang dipimpin oleh Villas-Boas lantaran The Lilywhites kelewat
berani bermain terbuka. Sementara Benitez memilih untuk bermain
hati-hati dengan menempatkan David Luiz menempel rapat Marco Streller.
Dengan
perkembangan tersebut, Mourinho sudah ditinggali tim yang bisa bermain
agresif dan pragmatis sama baiknya. Dan bukankah dia adalah ahlinya
bermain pragmatis. Semestinya, dengan keadaan demikian, ekspektasi untuk
membawa Chelsea sukses lagi tentu tidak salah alamat, meski hasil
adalah sesuatu yang baru kita saksikan tahun depan.
Pada musim
pertamanya membesut Chelsea di 2004/2005, Mourinho bertanggungjawab
membuat Chelsea mendapatkan label "Boring, Boring Chelsea". Mereka kerap
menang, kendati permainan (atau skor akhir) yang ditampilkan tidak
terlalu memuaskan. Keadaan ini mulai berubah ketika Arjen Robben, yang
cedera metatarsal pada persiapan pramusim, mulai bisa bermain pada bulan
November. Keran gol Chelsea mulai terbuka.
Musim itu, hanya
Arsenal yang punya produktivitas gol lebih baik atas Chelsea. The Blues
mencetak 72 gol, sementara The Gunners 87 gol. Namun, Chelsea tampil
sebagai juara dengan keunggulan 12 gol atas Arsenal. Pada musim
berikutnya, musim 2005/2006, barulah Chelsea --bersama dengan Manchester
United-- jadi tim dengan produktivitas gol terbaik. Mereka sama-sama
mencetak 72 gol. Yang jadi pembeda adalah, selain keunggulan delapan
poin di klasemen akhir, Chelsea kebobolan lebih sedikit dari United,
yakni hanya 22 gol. Sementara United kebobolan 34 gol.
Jika saat
itu Mourinho punya gelandang-gelandang lincah pada diri Robben, Damien
Duff, dan Joe Cole, maka kini dua punya Eden Hazard, Juan Mata, dan
Oscar, plus pendatang baru bernama Andre Schuerrle. Cukuplah modalnya
untuk mengarungi Premier League dalam satu musim ke depan.
Yang jadi pembeda mungkin hanyalah soal perkembangan taktik. Musim itu,
Mourinho seperti maju sendiri. Ketika kebanyakan tim masih kaku
menggunakan 4-4-2, dia sudah menempatkan tiga gelandang sebagai sentral
lini tengahnya. Mourinho sendiri kemudian mengakui bahwa ini adalah
sebuah keunggulan yang begitu mudah untuknya.
"Dengar, jika saya
punya formasi segitiga di lini tengah --Claude Makelele berada di
belakang dua gelandang lainnya-- saya akan selalu mendapatkan keuntungan
melawan tim yang murni memainkan 4-4-2, di mana gelandangnya berdiri
bersebelahan. Itu karena saya akan selalu punya satu orang ekstra."
"Semuanya
diawali oleh Makelele, yang berada di belakang garis tengah. Jika tidak
ada seorang pun yang mengawalnya, dia bisa melihat keadaan seluruh
lapangan dan punya banyak waktu. Jika dia dijaga, maka artinya dua
gelandang tengah lainnya tidak terkawal. Jika mereka terus menekan dan
para pemain sayap datang membantu untuk mengawal, maka kami punya ruang
di sisi lapangan, entah itu untuk winger kami atau full-back kami. Tidak
ada yang bisa dilakukan formasi 4-4-2 murni untuk menghentikan ini."
Penjelasan Mourinho di atas telah membuka semuanya. Kali ini tidak ada teka-teki.
Masalahnya,
semenjak itu Premier League pun sudah berubah. Semenjak itu Manchester
United telah merevolusi formasinya, bahkan dengan trio Cristiano
Ronaldo-Carlos Tevez-Wayne Rooney di lini depan mampu menaklukkan Eropa.
Semenjak itu, Manchester City telah berubah menjadi kekuatan baru, di
mana Yaya Toure adalah jenderal di lini tengah yang tidak terbantahkan
--bisa jadi mirip Makelele dalam formasi Mourinho-- dan trio David
Silva-Sergio Aguero-Samir Nasri/James Milner telah membuat The Citizens
memiliki salah satu daya serang terbaik di final-third.
Satu-satunya
teka-teki yang tersisa adalah bagaimana Mourinho menelanjangi kelemahan
rival-rivalnya, seperti yang pernah dia lakukan dulu itu.
Rossi Finza Noor*
====
* Foto-foto: Getty Images
* Penulis adalah wartawan detikSport, biasa beredar di dunia maya dengan akun twitter @Rossifinza
(dtc/a2s) Sumber: detiksport
Sekian:
Enigma Tuan Mourinho
Salam Hangat Beritasepakboladunia88.blogspot.com By Ardi