Catatan Piala Eropa - Jerman Menatap Asa
Beritasepakboladunia88.blogspot.com Jakarta - Apa jadinya bila negara super power sepakbola sekelas Jerman babak belur di dua turnamen beruntun?
Piala Dunia 1998, Die Mannschaft gagal ke semifinal lantaran dicukur "negara baru jadi", Kroasia, dengan skor 3-0. Pelatih Berti Vogts serta merta mengatakan sepakbola Jerman harus berbenah.
Namun alarm dini itu belum menyadarkan masyarakat Jerman. Dua tahun berikutnya, Euro 2000, Jerman tampil sebagai juara bertahan. Namun Jerman justru mendapat malapetaka sesungguhnya. Pasukan Erich Ribbeck terperosok di dasar klasemen Grup A akibat ditahan imbang Rumania serta takluk dari Inggris dan Portugal.
Inilah pukulan terhebat Jerman dalam era modern. Bagaimana mungkin negara dengan tiga gelar Piala Dunia dan tiga trofi Piala Eropa babak belur dua kali beruntun. Apalagi pada tahun 1997, dua klub di wilayah Lembah Ruhr, Borussia Dortmund dan Schalke 04, menjadi jawara kompetisi regional Eropa -- Liga Champions dan Piala UEFA (pendahulu Liga Europa).
Federasi Sepakbola Jerman (DFB) bereaksi. Mereka tidak menyalahkan siapapun, kecuali diri sendiri sebagai penanggung jawab sepakbola bangsa Aria tersebut. Tahun 2000 pula, DFB melakukan identifikasi masalah.
Hasilnya, DFB mengaku bersalah karena percaya diri mengandalkan sejumlah pemain veteran di dua turnamen beruntun tanpa memperhitungkan regenerasi. Tim asuhan Vogts dan Ribbeck ternyata terlalu uzur dan sulit bersaing. Di sisi lain, regenerasi pemain Jerman macet.
Mulai saat itu, DFB melakukan perumusan solusi. Mereka mengundang sejumlah pihak, termasuk dari disiplin ilmu non sepakbola. Mulai dari ahli ekonomi, matematika, sport science, manajemen, gizi hingga teknologi terapan. Perlu waktu dua tahun untuk menggodok paket solusi. Hasilnya, cetak biru pembinaan yang baru milik Jerman diumumkan oleh Direktur Pembinaan DFB, Dietrich Wiese.
Persis pada 2002, konsep baru itu diterapkan ke dalam struktur baru sepakbola Jerman. Inti struktur itu adalah sistem akademi alias pembinaan akar rumput, termasuk dengan menata kompetisi regional dan amatir. Koordinasi dikerjakan oleh tiga lembaga sepakbola sekaligus; DFB, Liga Sepakbola Jerman (DFL) dan Asosiasi Liga Jerman.
Keputusan pertama adalah mewajibkan 36 klub yang bermain di Bundesliga 1 dan 2 untuk memiliki akademi mandiri. Bila ada klub yang enggan mendirikan akademi pemain maka klub itu tak akan mendapat lisensi mengikuti Bundesliga. Ini syarat mutlak.
Pembenahan di sistem klub ini juga termasuk soal finansial. Dalam sistem baru ini, setiap akademi harus memiliki setidaknya 12 pemain di setiap kelompok umur atau jenjang yang memenuhi syarat (eligible) membela seluruh tingkatan timnas Jerman. Ke-36 klub itu menghabiskan dana total 100 juta dolar untuk akademinya. Sistem ini seakan menyempurnakan kebijakan 6+5 milik FIFA.
Di luar klub, DFB mendirikan 121 pusat sepakbola nasional di seantero Jerman yang khusus mendidik pemain berusia 10-17 tahun. Akademi ini fokus mendidik skil individu dengan arahan pelatih yang dikontrak per lima tahun dengan total biaya 15,6 juta dolar per akademi. Setiap akademi nasional ini akan ditangani dua pelatih kepala berstatus terbaik.
Selain dua hal utama itu, DFB juga mengajukan perubahan UU Imigrasi Jerman. Dengan konsep liberalisasi kependudukan, para anak muda imigran akan menguntungkan timnas Jerman. Konsep ini berbeda dengan naturalisasi. UU baru ini hanya memberi kemudahan kepada imigran usia kanak-kanak untuk mendapatkan paspor Jerman. Investasi pemain muda.
Yang terakhir, DFB mengubah kurikulum pembinaan sepakbola usia 9-13 tahun. Kurikulum disusun berdasarkan penelitian mahasiswa Universitan Koln yang tidak merekomendasi pelatihan 11 vs 11 bagi anak-anak di bawah 14 tahun.
"Anak usia 9 tahun dilatih 4 vs 4 dalam lapangan kecil. Ini berguna untuk memancing skil dan tehnik individu. Mereka tidak dikenalkan strategi dan tidak digembleng secara fisik. Bermain dengan 11 pemain baru dikenalkan pada usia 13 tahun," ungkap direktur pembinaan pemain VfB Stuttgart, Thomas Albeck.
Kurikulum baru ini juga diterapkan di 29 sekolah khusus, Elite Football Schools. Akademi ini hanya menerima anak usia 11-14 tahun dan mengajarkan seluruh pelajaran umum. Namun kurikulum sepakbola adalah materi utama.
Di balik lapangan, DFB bersama sejumlah universitas merancang terapan psikologi olahraga, pelatihan fitnes, dokter dan fisioterapis. Mereka mengumpulkan data fisik, statistik, analisa performa, dan karakter personal dari seluruh pemain muda.
Enam tahun sejak cerak biru baru diimplementasikan, tim yunior Jerman merajai Eropa. Mulai dari Jerman U-19 di Euro 2008, U-17 di Euro 2009, dan U-21 di Euro 2009 pula.
"Jujur saja, kami tak pernah berharap bahwa hasil revolusi akan secepat ini," ujar Sekjen DFB, Wolfgang Niersbach mengomentari keberhasilan Jerman U-21 edisi 2009 yang antara lain diperkuat Mesut Ozil, Thomas Mueller, Sami Khedira, Manuel Neuer, dan Jerome Boateng.
Hasil nyata juga terlihat di Bundesliga. Pada musim 2003/04, jumlah pemain asing mencapai 44%. Sedangkan pada 2010, pemain asing menurun hingga 38%. Klub Bundesliga juga senang merekrut pemain binaan sendiri untuk meringankan pengeluaran. "Artinya, di Bundesliga ada 62% pemain yang dapat memperkuat timnas Jerman," ungkap CEO Bundesliga, Christian Seifert.
Puncaknya, meski tidak juara, Jerman memiliki rata-rata pemain dengan usia 24,7 tahun di Piala Dunia 2010 lalu alias yang termuda sepanjang sejarah turnamen bergengsi tersebut. Status tim termuda sepanjang turnamen Eropa juga ditorehkan Jerman di Euro 2012 yang segera berlangsung, 24,52 tahun. Gelandang Mario Goetze, yang ikut menjuarai Euro U-17 2009, adalah termuda (20 tahun) dan penyerang Miroslav Klose adalah pemain tertua (33 tahun).
Jerman yang akan tampil di Polandia-Ukraina, termasuk yang bermain di Piala Dunia 2010 lalu, adalah tim yang berbeda. Mereka diperkuat pemain yang mengandalkan otak kiri Teutonic ketimbang otak kanan nan penuh masalah. Jerman masa kini memiliki permainan dinamis dibandingkan Jerman masa lalu yang bak mesin diesel.
Pada akhirnya, tinggal Loew yang ditunggu untuk mampu memaksimalkan generasi muda Jerman ini dengan skema cair nan modern, 4-2-3-1. Skema dengan empat pilar bertahan nan kokoh, dua gelandang penghadang, tiga gelandang cepat dengan satu di antaranya sebagai gelandang serang yang siap mendukung seorang penyerang. Menjuarai Euro 2012 menjadi harapan tertinggi Jerman setelah satu dekade melakukan perubahan cetak biru pembinaan.
(dtc/a2s) Sumber: detiksport
Piala Dunia 1998, Die Mannschaft gagal ke semifinal lantaran dicukur "negara baru jadi", Kroasia, dengan skor 3-0. Pelatih Berti Vogts serta merta mengatakan sepakbola Jerman harus berbenah.
Namun alarm dini itu belum menyadarkan masyarakat Jerman. Dua tahun berikutnya, Euro 2000, Jerman tampil sebagai juara bertahan. Namun Jerman justru mendapat malapetaka sesungguhnya. Pasukan Erich Ribbeck terperosok di dasar klasemen Grup A akibat ditahan imbang Rumania serta takluk dari Inggris dan Portugal.
Inilah pukulan terhebat Jerman dalam era modern. Bagaimana mungkin negara dengan tiga gelar Piala Dunia dan tiga trofi Piala Eropa babak belur dua kali beruntun. Apalagi pada tahun 1997, dua klub di wilayah Lembah Ruhr, Borussia Dortmund dan Schalke 04, menjadi jawara kompetisi regional Eropa -- Liga Champions dan Piala UEFA (pendahulu Liga Europa).
Federasi Sepakbola Jerman (DFB) bereaksi. Mereka tidak menyalahkan siapapun, kecuali diri sendiri sebagai penanggung jawab sepakbola bangsa Aria tersebut. Tahun 2000 pula, DFB melakukan identifikasi masalah.
Hasilnya, DFB mengaku bersalah karena percaya diri mengandalkan sejumlah pemain veteran di dua turnamen beruntun tanpa memperhitungkan regenerasi. Tim asuhan Vogts dan Ribbeck ternyata terlalu uzur dan sulit bersaing. Di sisi lain, regenerasi pemain Jerman macet.
Mulai saat itu, DFB melakukan perumusan solusi. Mereka mengundang sejumlah pihak, termasuk dari disiplin ilmu non sepakbola. Mulai dari ahli ekonomi, matematika, sport science, manajemen, gizi hingga teknologi terapan. Perlu waktu dua tahun untuk menggodok paket solusi. Hasilnya, cetak biru pembinaan yang baru milik Jerman diumumkan oleh Direktur Pembinaan DFB, Dietrich Wiese.
Persis pada 2002, konsep baru itu diterapkan ke dalam struktur baru sepakbola Jerman. Inti struktur itu adalah sistem akademi alias pembinaan akar rumput, termasuk dengan menata kompetisi regional dan amatir. Koordinasi dikerjakan oleh tiga lembaga sepakbola sekaligus; DFB, Liga Sepakbola Jerman (DFL) dan Asosiasi Liga Jerman.
Keputusan pertama adalah mewajibkan 36 klub yang bermain di Bundesliga 1 dan 2 untuk memiliki akademi mandiri. Bila ada klub yang enggan mendirikan akademi pemain maka klub itu tak akan mendapat lisensi mengikuti Bundesliga. Ini syarat mutlak.
Pembenahan di sistem klub ini juga termasuk soal finansial. Dalam sistem baru ini, setiap akademi harus memiliki setidaknya 12 pemain di setiap kelompok umur atau jenjang yang memenuhi syarat (eligible) membela seluruh tingkatan timnas Jerman. Ke-36 klub itu menghabiskan dana total 100 juta dolar untuk akademinya. Sistem ini seakan menyempurnakan kebijakan 6+5 milik FIFA.
Di luar klub, DFB mendirikan 121 pusat sepakbola nasional di seantero Jerman yang khusus mendidik pemain berusia 10-17 tahun. Akademi ini fokus mendidik skil individu dengan arahan pelatih yang dikontrak per lima tahun dengan total biaya 15,6 juta dolar per akademi. Setiap akademi nasional ini akan ditangani dua pelatih kepala berstatus terbaik.
Selain dua hal utama itu, DFB juga mengajukan perubahan UU Imigrasi Jerman. Dengan konsep liberalisasi kependudukan, para anak muda imigran akan menguntungkan timnas Jerman. Konsep ini berbeda dengan naturalisasi. UU baru ini hanya memberi kemudahan kepada imigran usia kanak-kanak untuk mendapatkan paspor Jerman. Investasi pemain muda.
Yang terakhir, DFB mengubah kurikulum pembinaan sepakbola usia 9-13 tahun. Kurikulum disusun berdasarkan penelitian mahasiswa Universitan Koln yang tidak merekomendasi pelatihan 11 vs 11 bagi anak-anak di bawah 14 tahun.
"Anak usia 9 tahun dilatih 4 vs 4 dalam lapangan kecil. Ini berguna untuk memancing skil dan tehnik individu. Mereka tidak dikenalkan strategi dan tidak digembleng secara fisik. Bermain dengan 11 pemain baru dikenalkan pada usia 13 tahun," ungkap direktur pembinaan pemain VfB Stuttgart, Thomas Albeck.
Kurikulum baru ini juga diterapkan di 29 sekolah khusus, Elite Football Schools. Akademi ini hanya menerima anak usia 11-14 tahun dan mengajarkan seluruh pelajaran umum. Namun kurikulum sepakbola adalah materi utama.
Di balik lapangan, DFB bersama sejumlah universitas merancang terapan psikologi olahraga, pelatihan fitnes, dokter dan fisioterapis. Mereka mengumpulkan data fisik, statistik, analisa performa, dan karakter personal dari seluruh pemain muda.
Enam tahun sejak cerak biru baru diimplementasikan, tim yunior Jerman merajai Eropa. Mulai dari Jerman U-19 di Euro 2008, U-17 di Euro 2009, dan U-21 di Euro 2009 pula.
"Jujur saja, kami tak pernah berharap bahwa hasil revolusi akan secepat ini," ujar Sekjen DFB, Wolfgang Niersbach mengomentari keberhasilan Jerman U-21 edisi 2009 yang antara lain diperkuat Mesut Ozil, Thomas Mueller, Sami Khedira, Manuel Neuer, dan Jerome Boateng.
Hasil nyata juga terlihat di Bundesliga. Pada musim 2003/04, jumlah pemain asing mencapai 44%. Sedangkan pada 2010, pemain asing menurun hingga 38%. Klub Bundesliga juga senang merekrut pemain binaan sendiri untuk meringankan pengeluaran. "Artinya, di Bundesliga ada 62% pemain yang dapat memperkuat timnas Jerman," ungkap CEO Bundesliga, Christian Seifert.
Puncaknya, meski tidak juara, Jerman memiliki rata-rata pemain dengan usia 24,7 tahun di Piala Dunia 2010 lalu alias yang termuda sepanjang sejarah turnamen bergengsi tersebut. Status tim termuda sepanjang turnamen Eropa juga ditorehkan Jerman di Euro 2012 yang segera berlangsung, 24,52 tahun. Gelandang Mario Goetze, yang ikut menjuarai Euro U-17 2009, adalah termuda (20 tahun) dan penyerang Miroslav Klose adalah pemain tertua (33 tahun).
Jerman yang akan tampil di Polandia-Ukraina, termasuk yang bermain di Piala Dunia 2010 lalu, adalah tim yang berbeda. Mereka diperkuat pemain yang mengandalkan otak kiri Teutonic ketimbang otak kanan nan penuh masalah. Jerman masa kini memiliki permainan dinamis dibandingkan Jerman masa lalu yang bak mesin diesel.
Pada akhirnya, tinggal Loew yang ditunggu untuk mampu memaksimalkan generasi muda Jerman ini dengan skema cair nan modern, 4-2-3-1. Skema dengan empat pilar bertahan nan kokoh, dua gelandang penghadang, tiga gelandang cepat dengan satu di antaranya sebagai gelandang serang yang siap mendukung seorang penyerang. Menjuarai Euro 2012 menjadi harapan tertinggi Jerman setelah satu dekade melakukan perubahan cetak biru pembinaan.
(dtc/a2s) Sumber: detiksport
Posting Komentar
BLOG INI DOFOLLOW , Berkomentarlah dengan sopan dan sesuai judul artikel . Bola,Berita Bola,Prediksi Bola,Cek Skor,Hasil Pertandingan Terkini,Berita Bola Dunia, Berita Sepak Bola Dunia
Kami sangat berterima kasih jika Anda ikut menyebarkan atau merekomendasikan artikel ini kepada sahabat dan kerabat Anda melalui facebook.com, twitter.com, email atau sarana jejaring sosial lainnya.
Salam Blogger Indonesia dan Sukses Selalu ! :)